Kenaikan Tarif PPN Tahun 2025

Kenaikan Tarif PPN Tahun 2025

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. PPN merupakan pajak tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak.

PPN adalah jenis pajak yang dibebankan kepada pembeli atas setiap pembelian barang dan/atau jasa. Pahami dengan baik fungsi, objek, tarif, hingga cara setorannya berikut.” Bukti bahwa PPN adalah kewajiban pembeli dapat ditemukan pada lembaran struk belanja yang memuat tulisan “PPN” atau “Value Added Tax” (VAT). PPN disebut juga sebagai pajak konsumsi, dimana yang menanggung pajak sebenarnya adalah konsumen akhir, yaitu para pengguna akhir barang dan jasa.

Karena PPN ditanggung oleh konsumen akhir, maka dapat kita berikan arti secara bebas, bahwa PPN merupakan sejumlah kewajiban yang harus diberikan oleh individu-individu yang memanfaatkan segala jenis barang dan jasa didalam kehidupan sehari-hari, kewajiban tersebut timbul karena individu-individu tersebut telah diberikan keleluasaan atau kebebasan untuk menikmati dan mengkosumsi barang dan jasa dalam yang ditawarkan oleh para pengusaha. Individu-individu tersebut adalah setiap orang yang berada di dalam satu negara, tidak terkecuali apakah telah terdaftar sebagai warga negara atau non warga negara.

Jika kita urai lagi lebih dalam, maka PPN merupakan suatu bayaran yang harus diberikan kepada negara, agar warga negara dan non warga negara bisa tetap hidup.

Ini terdengar ekstrim, tetapi itulah arti yang sebenarnya karena PPN merupakan pajak konsumsi, meskipun dalam definisi undang-undang PPN tida dijelaskan secara gamblang.

Menurut data dari badan pusat statistik bahwa jumlah penerimaan negara atas Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Rp. 687.609,50 milyar pada tahun 2022, Rp. 742.264,50 milyar pada tahun 2023 dan Rp. 811.365,00 milyar pada tahun 2024. Data tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup besar dimana terjadi peningkatan penerimaan negara pada tahun 2022 sebesar Rp. 135.709,00 milyar atau setara 24,59% dibanding penerimaan tahun sebelumnya. Kenaikan ini berasal dari kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada bulan April tahun 2022.

Kenaikan penerimaan dari PPN dan PPnBM ditahun-tahun berikutnya tidak terlalu berarti, dimana kenaikan penerimaan pada tahun 2023 Rp. 54.655,00 milyar atau 7,95% dan pada tahun 2024 mengalami kenaikan Rp. 69.100,50 milyar atau 0,000011% dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kenaikan penerimaan negara dari PPN dan PPnBM setelah kenaikan tarif terlihat semakin lama semakin menurun, atau semakin tidak berarti, ini disebabkan oleh tidak adanya pertumbuhan industri-industri baru, atau bisa juga sebagai indikasi bahwa kenaikan penerimaan negara tidak diikuti dengan meningkatkan perekonomian. Terbukti bahwa dengan kenaikan tarif PPN menjadi 11% telah menghambat pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Kenaikan penerimaan negara atas kebijakan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% jika dirata-ratakan berkisar Rp. 150 trilliun pertahun dibandingkan dengan penerimaan tarif sebelumnya, dan penerimaan ini semua ditarik dari seluruh lapisan Masyarakat, tidak terkecuali Masyarakat jelata.

Pemerintah kembali akan menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% rencananya mulai tanggal 1 Januari 2025 dengan target penerimaan negara atas kenaikan tarif tersebut berkisar Rp. 300 trilliun dibandingkan dengan tarif dua tahun sebelumnya yaitu 10%. Kenaikan tarif ini dimungkinkan justru dapat semakin memperburuk perekonomian yang memang sudah cukup buruk saat ini, dimana dapa beli Masyarakat semakin kecil dan lapangan kerja yang sulit serta pengangguran yang semakin meningkat.

Kenaikan tarif PPN tentu berdampak langsung terhadap kenaikan cost atau biaya produksi karena disebabkan kenaikan bahan baku dan biaya-biaya pendukung. Jika tidak diikuti dengan kenaikan upah, maka akan menimbulkan masalah baru, dimana daya beli Masyarakat secara langsung akan terhempas, tetapi disisi yang lain, jika diikuti dengan kenaikan upah, maka harga-harga akan semakin tinggi.

Dengan menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dan pada tahun 2025 menjadi 12% membuktikan bahwa pemerintah tidak serius untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang lain, yaitu:

-Meningkatkan jumlah wajib pajak

-Pemerintah gagal untuk melakukan pembuktian terbalik atas kekayaan wajib pajak khususnya para pejabat pemerintah.

-Menggali potensi-potensi pendapatan lain dari BUMN

-Mewujudkan swasembada pangan

-Menguasai industri perkebunan seperti industri kelapa sawit

-Pemerintah telah gagal untuk melakukan pemberantasan korupsi dengan jujur dan transparan.

Menurut bisnis.com tanggal 2 april 2024 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu menyampaikan dari 12.987.904 SPT yang masuk selama masa pelaporan, terdiri dari 12.636.477 SPT Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP)dan 352.427 WP Badan.

Jumlah penduduk menurut badan pusat statistik pada 11 Juni 2024 sebanyak 278 juta jiwa yang mana jumlah tersebu terdapat 122 juta juta penduduk berada pada usia produktif.

jika pria dan Wanita yang menikah mempunyai NPWP yang sama (NPWP digabung), artinya jumla penduduk produktif dibagi dua menjadi 61 juta jiwa atau minimal ada 61 juta wajib pajak yang ber NPWP.

Mari kita perkecil lagi. Diasumsikan bahwa dari 122 juta jiwa tersebut yang bekerja hanya 70% maka seharusnya ada 22 juta wajib pajak orang pribadi (suami dan istri digabung) yang menjadi subjek pajak orang pribadi.

Saat ini yang terdftar sebagai wajib pajak orang pribadi hanya sebanyak 12 juta wajib pajak, yaitu baru 50% dari target.

Maka dari data diatas menggambarkan bahwa pemerintah kurang serius untuk meningkatkan penerimaan negara melalui peninggkatan jumlah subjek pajak.

Pendataan asset-aset para pejabat terkesan belum serius, karena dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tidak dibandingkan dengan jumlah pembayaran pajak atas nilai laporan harta kekayaan. Pencucian uang yang belum terdeteksi dengan transparan, dimana masyarakat pada umumnya dapat menyaksikan kemewahan yang dipraktikan para pejabat yang berbanding terbalik terhadap penerimaan atau gaji yang dipublikasi.

Perusahaam Umum Milik Negara (BUMN) yang selalu merugi, setiap tahun pemerintah melakukan restrukturisasi, pergantian Menteri dan kebijakan-kebijakan baru, itu semua terbukti tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kinerja BUMN. Menurut Bapak Erick Thohir bahwa ada tujuh BUMN tersebut adalah PT Krakatau Steel (Persero), PT Bio Farma (Persero), PT Wijaya Karya (Persero), PT Waskita Karya (Persero), PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Perumnas dan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). (ANTARA 4 november 2024)

Belum lagi tagihan dari para supplier, vendor dan subkon kepada Perusahaan-perusahaan ini sering macet menambah semakin beratkan pendanaan yang dialami rekanan.

Hingga saat ini, Indonesia masih melakukan impor berbagai komoditas dari negara lain, baik beras, gula, gandum, kedelai, dan berbagai komoditas lainnya, yang seharusnya semua itu dapat dihasikan di dalam negeri. Gagalnya swasembada pangan ini dapat dilihat sebagai hasil ketidak seriusan pemerintah dari berbagai generasi untuk membangun Indonesia.

Petani diindonesia juga menghadapi dilemma yang sangat berat, apakah melanjutkan untuk Bertani atau menjadi buruh?

Skor IPK yang hanya 34 membuat peringkat Indonesia merosot dari 110 pada 2022 menjadi 115 pada 2023. Alih-alih mengamankan keuangan negara melalui pemberantasan korupsi, pemerintah malah menaikan tarif PPN menjadi 12%.

Dapat kita lihat melalui media, baik media televisi dan berita-berita di internet, semua segmen telah terinfeksi korupsi, tidak terkeculai peradilan, yang seharusnya menjadi tempat yang paling bersih.

Kenaikan tarif PPN menjadi suatu pembuktian bahwa memang pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengelolah seluruh sumberdaya yang ada dinegeri ini, tetapi pemerintah hanya mau menjabat tampa perduli dampat dari sepak terjang mereka dikemudian hari.