Pajak merupakan kewajiban setiap orang kepada negara, yatiu setiap orang yang tinggal di Indonesia, baik warga negara Indonesia maupun yang bukan warga negara Indonesia yang mendapatkan penghasilan di Indonesia. Pajak diatur dengan undang-undang serta peraturan-peraturan perpajakan yang merupakan turunan dari undang-undang perpajakan.
Undang-undang perpajakan menjadi suatu pedoman yang memberikan kepastian kepada wajib pajak yang mengatur hak dan kewajiban bagi wajib pajak.
Akhir-akhir ini kita dihebokan dengan berita di https://www.cnbcindonesia.com/ tanggal 24 November 2025, Pengusaha asal Bekasi, Jawa Barat berinisial RD terancam masuk penjara setelah diketahui tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. Perbuatan RD menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 576,6 juta.
Demikianlah siaran pers Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, dikutip CNBC Indonesia, Senin (25/11/2024)
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II bekerja sama dengan KORWAS Polda Metro Jaya menyerahkan tersangka dan barang bukti Rd melalui PT ARS bersama dengan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi.
Pelanggaran ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Langkah ini sudah didahului dengan pemanggilan terhadap tersangka yang dilakukan oleh Kanwil DJP Jawa Barat II berkerjasama dengan KORWAS Polda Metro Jaya.
“Tindakan penegakan hukum ini merupakan peringatan bagi para pelaku tindak pidana di bidang perpajakan lainnya, bahwa Direktorat Jenderal Pajak dengan dukungan Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia akan terus melakukan penegakan hukum di bidang perpajakan untuk mengamankan penerimaan negara demi tercapainya pemenuhan pembiayaan negara dalam APBN,” tulis DJP.
“Penegakan hukum yang tegas yang diterapkan pada kasus ini diharapkan dapat memberikan deterrent effect atau daya getar bagi Wajib Pajak lain yang memiliki niat serupa.
Penggelapan pajak dapat terjadi dengan perencanaan, dan juga tanpa perencanaan, karena dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 pasal 39 ayat (2) berbunyi “Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan”. Dalam undang-undang yang sama dipasal 39 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja:
-tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
-menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
-tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
-menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
-menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
-memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
-tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
-tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
-tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sengaja menghindari pajak
Bisa saja wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan oleh karena unsur kesengajaan. Penghindaran pajak dengan sengaja adalah tindakan yang dilakukan dengan direncanakan, diniatkan, dan tidak secara kebetulan. Dalam hukum pidana, sengaja berarti seseorang melakukan tindakan dengan sadar dan menghendaki tindakan tersebut dan/atau akibatnya.
Dalam konteks ini, wajib pajak mengerti dan faham akan aturan dan peraturan perpajakan, dengan peraturan-peraturan tersebut, wajib pajak mencoba membuat suatu rencana untuk menghindari pajak dengan melakukan tindakan pelanggaran terhadap aturan dan peraturan yang ada. Tindakan ini dapat digolongkan dengan pelanggaran yang mengakibatkan sangsi pidana.
Tidak sengaja menghindari pajak
Pada saat petugas pajak melakukan pemeriksaan atas kepatuhan wajib pajak, tidak jarang wajib pajak merasa kaget, dan mengatakan kalau wajib pajak tidak mengetahui aturan dan peraturan perpajakan. Wajib pajak biasanya keberatan atas temuan-temuan petugas pajak dan wajib pajak sering beranggapan bahwa wajib pajak sengaja untuk menyudutkan usah yang sedang dibangun, dan bahkan petugas pajak dianggap semena-mena dalam melakukan pemeriksaan.
Tidak sengaja, bisa juga kita artikan sebagai kelalaian berarti lengah, kurang hati-hati, atau tidak mengindahkan kewajiban atau pekerjaan yang dapat mengakibatkan kerugian kepada pihak lain dan lingkungan.
Masih segar didalam ingatan kita perihal pengusaha susu seperti ditulis dimedia detikjateng.com mengatakan Ketidakpastian menggelayuti UD Pramono, salah satu badan usaha pengepul susu di Boyolali. Usaha dagang yang didirikan pria bernama Pramono (67) itu terancam tutup buntut tagihan pajak Rp 671 juta yang berujung kepada pemblokiran rekening bank.
Diduga UD Pramono selama ini lalai dalam memenuhi kewajiban perpajakan bukan karena kesengajaan, tetapi kurang kehati-hatian. UD Pramono dapat juga dikatakan hanya memberikan perhatian kepada usaha inti saja sehingga melalaikan kewajiban perpajakan.
Tidak semua wajib pajak dapat memahami semua peraturan perpajakan yang ada, dan untuk menghindari resiko perpajakan yang dapat berujung kepada pidana, maka semua wajib pajak dan tidak terkecuali harus faham pajak. Memahami undang-undang dan aturan-aturan pajak membutuhkan perhatian lebih yang dapat menguras waktu dan energi.
Wajib pajak sebaiknya berkonsultasi kepada konsultan pajak yang lebih menguasai peraturan dan aturan perpajakan juga lebih faham resiko-resiko yang dapat timbul dikemudian hari dalam hal perpajakan.